Tata Cara Informed Consent untuk Terapi Secretome
Dalam dunia medis, informed consent bukan hanya sekedar formalitas, tetapi bentuk komunikasi dua arah antara dokter dengan pasien. Informed consent ini merupakan hal yang sangat penting dalam terapi secretome, yang merupakan bagian dari terapi regeneratif modern dan masih tergolong ke dalam inovasi terapi baru.
Melalui proses informed consent ini, pasien diberikan informasi yang lengkap, jujur, dan juga mudah dipahami, mulai dari tujuan terapi, manfaat dari terapi yang diharapkan, potensi risiko yang timbul, hingga pilihan alternatif terapi lain.
Pasien pun berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak tindakan. Dengan cara ini, keputusan medis menjadi bersifat sadar, sukarela, lebih transparan, dan benar-benar berpihak pada pasien.
Kerangka Regulasi
Di Indonesia, proses informed consent untuk terapi secretome mengikuti aturan dari Kementerian Kesehatan, Pedoman Etik Penelitian Kesehatan, serta standar Good Clinical Practice (GCP). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Standar layanan & keamanan: Terapi hanya boleh dilakukan di fasilitas yang memiliki sertifikasi, misalnya perizinan laboratorium dengan standar GMP (Good Manufacturing Practice).
Dokumentasi resmi: Informed consent harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien, dokter, serta saksi bila diperlukan.
Transparansi informasi: Dokter dilarang memberikan janji kesembuhan yang belum terbukti secara ilmiah.
Pengawasan etik: Semua penelitian yang melibatkan terapi secretome wajib mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan untuk menjamin perlindungan pasien.
Baca juga artikel lainnya: Protokol Keamanan Terapi Secretome: Standar Klinik yang Harus Ada
Proses Persetujuan Tindakan
Informed consent merupakan komunikasi terbuka antara dokter dan pasien. Proses ini berlangsung sejak awal konsultasi hingga setelah terapi dilakukan. Tahapannya bisa digambarkan seperti ini:
Penyampaian Informasi Lengkap
Dokter menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami mengenai:Bagaimana terapi secretome berpotensi membantu regenerasi jaringan.
Manfaat yang mungkin diperoleh, misalnya mempercepat pemulihan atau mengurangi peradangan.
Risiko atau efek samping, baik yang sudah diketahui maupun yang masih dalam penelitian.
Pilihan terapi lain di luar secretome, termasuk metode konvensional.
Hak dan Kewajiban Pasien
Hak pasien: mendapat informasi jujur dan lengkap, bebas memilih menerima atau menolak terapi, serta berdiskusi dulu dengan keluarga sebelum mengambil keputusan.
Kewajiban pasien: memberi tahu kondisi kesehatannya secara menyeluruh, mengikuti prosedur dan jadwal kontrol, serta melaporkan bila muncul keluhan atau efek samping.
Sukarela dan TransparanPersetujuan harus diberikan secara sadar, tanpa paksaan. Pasien juga perlu memahami bahwa terapi secretome masih dalam tahap pengembangan, sehingga hasilnya bisa berbeda-beda pada tiap orang.
Audit & Kepatuhan
Agar proses informed consent benar-benar berjalan sesuai aturan, terdapat mekanisme pengawasan yang diterapkan:
Pelaporan insiden
Jika muncul efek samping serius atau kejadian tak diinginkan, dokter dan fasilitas medis wajib segera melaporkannya sesuai regulasi yang berlaku ke pihak berwenang serta komite etik.Pengawasan promosi
Semua materi informasi dan promosi terapi secretome harus berdasarkan bukti ilmiah, tidak boleh berlebihan atau menjanjikan hasil yang belum terbukti.Sanksi dan penegakan hukum
Bila terdapat klinik yang melanggar aturan, misalnya memberikan klaim kesembuhan palsu, maka dapat dikenakan sanksi mulai dari teguran administratif hingga pencabutan izin operasional sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Baca juga artikel lainnya: Pentingnya Proses CPOB dalam Produksi Stem Cell Klinis
Hasil Penelitian dan Studi Klinis Terbaru
1. Studi Anderson (2016)
Menurut Anderson (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Achieving Informed Consent for Cellular Therapies: A Preclinical Translational Research Perspective on Regulations versus a Dose of Reality”, proses informed consent pada terapi berbasis sel, termasuk secretome, lebih rumit dibandingkan dengan terapi pengobatan konvensional.
Pasien sering kali tidak mengetahui bahwa produk seluler bersifat hidup dan bervariasi antar-lini sel, sehingga hasil uji pra-klinik belum tentu sama hasilnya dengan produk yang mereka terima. Berbeda dengan beberapa obat kimia, terapi berbasis sel tidak dapat dihentikan atau dikeluarkan kembali setelah diberikan.
Anderson juga menemukan masalah pada aspek keterbukaan informasi. Dalam beberapa uji klinis, pasien dan tenaga medis tidak selalu tahu apakah produk yang digunakan sama dengan yang dilaporkan di jurnal ilmiah.
Bahkan, terdapat dokumen informed consent yang hanya menyebutkan nama produk secara umum, tanpa detail tentang asal usul sel atau proses produksinya. Hal ini bisa membuat pasien salah memahami informasi dan mengambil keputusan dengan pengetahuan yang kurang lengkap.
Sebagai solusinya, Anderson merekomendasikan agar dokumen informed consent dibuat lebih jelas dan transparan, mencantumkan identitas produk, asal sel, dan data pendukung seperti hasil pra-klinik serta proses produksinya. Dengan begitu, pasien dapat membuat keputusan yang secara benar-benar sadar dan memahami sepenuhnya risiko maupun manfaat terapi.
2. Studi Dalal (2024)
Dalal (2024) dalam publikasinya yang berjudul “Redefining Informed Consent Form In Cell And Gene Therapy Trials” menegaskan bahwa informed consent adalah bagian yang tidak bisa diabaikan sebelum menjalani terapi modern seperti secretome.
Dokumen ini bukan sekadar tanda tangan di atas kertas, tetapi kesempatan bagi pasien untuk memahami sepenuhnya tentang terapi apa yang akan dijalani mulai dari tujuan terapi, tahapan prosedurnya, risiko dan efek sampingnya, hingga alternatif pengobatan lain.
Dalam konteks terapi secretome, informed consent ini harus dibuat lebih detail dibandingkan dengan informed consent terapi biasa. Penyebabnya karena cara kerja secretome cukup kompleks, efeknya dapat berlangsung lama, dan sebagian risikonya belum sepenuhnya diketahui. Oleh karena itu, dokter harus menjelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami dan transparan, tanpa memberi kesan bahwa terapi ini selalu memberikan hasil pasti.
Dalal juga menekankan pentingnya memberikan informasi tentang hak pasien, termasuk hak menolak terapi, hak menghentikan pengobatan, serta perlindungan kerahasiaan data medis. Selain itu, pasien perlu tahu mengenai biaya, kemungkinan tindak lanjut, dan tindakan apa yang harus dilakukan jika efek samping muncul.
Dengan cara ini, informed consent menjadi lebih dari sekadar formalitas, karena proses ini membantu pasien membuat keputusan yang tenang, sadar, dan terinformasi. Dalam terapi secretome, langkah ini sangat penting untuk memastikan setiap tindakan dilakukan dengan persetujuan penuh oleh pasien.
Baca juga artikel lainnya: Timeline Pemulihan Pasca Terapi Secretome: Hari ke Hari
Informed consent menjadi dasar penting dalam setiap terapi regeneratif, termasuk secretome. Lewat proses ini, pasien mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai manfaat, risiko, serta keterbatasan terapi sehingga bisa membuat keputusan dengan sadar dan tanpa paksaan.
Dokumentasi yang lengkap dan pengawasan yang ketat juga diperlukan agar hak pasien tetap terlindungi, sekaligus mencegah munculnya klaim berlebihan terkait terapi yang masih bersifat eksperimental.
Dengan memahami tata cara informed consent, setiap orang diharapkan dapat lebih bijak dan merasa aman sebelum memutuskan menjalani terapi regeneratif seperti secretome.
Anda bisa berkonsultasi dengan dokter dan mitra Regenic untuk bertanya lebih lanjut terkait terapi secretome, sehingga dapat memahami prosedur, manfaat, maupun risikonya sebelum menjalani terapi.
Pelajari opsi terapi lebih lanjut di halaman resmi Regenic — Stem Cell:
Referensi:
Anderson, A. J., & Cummings, B. J. (2016). Achieving Informed Consent for Cellular Therapies: A Preclinical Translational Research Perspective on Regulations versus a Dose of Reality. Journal of Law, Medicine & Ethics, 44(3), 394–401. https://doi.org/10.1177/1073110516667937
Dalal, V., Jotwani, G., & Yadav, M. L. (2024). Redefining informed consent form in cell and gene therapy trials. Perspectives in Clinical Research, 15(1), 4–9. https://doi.org/10.4103/picr.picr_244_22
Smith, C., Martin-Lillie, C., Higano, J. D., Turner, L., Phu, S., Arthurs, J., Nelson, T. J., Shapiro, S., & Master, Z. (2020). Challenging Misinformation and Engaging Patients: Characterizing a Regenerative Medicine Consult Service. Regenerative Medicine, 15(3), 1427–1440. https://doi.org/10.2217/rme-2020-0018
Sugarman, J., Barker, R. A., & Charo, R. A. (2019). A Professional Standard for Informed Consent for Stem Cell Therapies. JAMA, 322(17), 1651. https://doi.org/10.1001/jama.2019.11290